Mengenai Saya

Foto saya
Lahir 13 Feburari 1944 di Siborong-borong, sebuah desa di lereng pegunungan Bukit Barisan, di Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Pernah bekerja sebagai wartawan, profesi yang digelutinya selama 30 tahun lebih. Salah satu karya jurnalisme investigasinya tentang praktik penyelundupan di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta di tahun 1975, mendapat Anugerah Adinegoro – penghargaan jurnalistik tingkat nasional yang paling bergengsi di masa itu. Pada tahun 1999, Panda memutuskan terjun ke dunia politik secara penuh, sebagai anggota DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan hingga saat ini. Terkenal selalu kritis terhadap berbagai kebijakan dan tindakan instansi/lembaga penegak hukum, termasuk terhadap KPK sekalipun, meskipun sebagai anggota Komisi Hukum DPR RI, ia terlibat aktif dalam pembentukan KPK dan menyusun UU Tipikor. Namun, sikap kritisnya harus membuatnya terbelit perkara hukum. Blog ini menyediakan informasi secara terbuka bagi masyarakat mengenai upaya Panda Nababan melawan peradilan sesat demi tegaknya hukum dan keadilan di negara yang sama-sama kita cintai, Republik Indonesia. Pro Justitia!

Eksepsi

TERDAKWA MASIH BELUM MENGERTI DAKWAAN TETAPI SIDANG TETAP DILANJUTKAN

Majelis Hakim Yang Mulia
Penuntut Umum Yang Terhormat

Sebelum menguraikan aspek yuridis dari Eksepsi (Keberatan) ini, kami ingin mengajak kita semua untuk merenungkan dan memaknai kalimat yang berbunyi: “Kesalahan yang berulang-ulang dibiarkan akan menjadi kebenaran”. Kalimat ini menjadi sangat relevan jika kita kerap mencermati proses beracara di Pengadilan pidana, di mana sepanjang pengamatan kami: sebahagian besar eksepsi yang diajukan terdakwa maupun Penasihat Hukumnya selalu ditolak hakim, sekalipun dakwaan  Penuntut Umum sarat kesalahan, sangat kabur, tidak cermat dan tidak jelas, bahkan manipulatif. Alhasil, Penuntut Umum tidak akan pernah belajar dari kesalahan dalam membuat surat dakwaan karena akan selalu merasa “sudah benar”, bahkan: seburuk-buruknya surat dakwaan, walaupun dieksepsi oleh terdakwa atau Penasehat Hukumnya, pasti surat dakwaan yang buruk itu akan dibenarkan oleh hakim dengan menolak eksepsi yang diajukan.

Harus diakui, bahwa pada akhirnya dalam praktik pengadilan kita, eksepsi (keberatan) seringkali menjadi hanya sekadar formalitas lantaran majelis hakim lebih sering menolaknya daripada menerima eksepsi dari Penasehat Hukum atau terdakwa dengan alasan klasik: ”Eksepsi sudah masuk dalam Pokok Perkara”.

Hal inilah yang kami maksud dengan penjabaran kalimat di atas: “Kesalahan yang berulang-ulang dibiarkan akan menjadi kebenaran”, di mana kesalahan Penuntut Umum di dalam membuat Surat Dakwaan selalu dibiarkan oleh hakim dengan preseden menolak eksepsi, sehingga kesalahan-kesalahan dalam membuat surat dakwaan itu menjadi suatu yang biasa karena pada akhirnya akan “dibenarkan” oleh hakim. Bukankah dengan pembenaran seperti itu akan memperburuk sistem hukum kita dan bentuk-bentuk pelecehan terhadap hak-hak terdakwa?

Majelis Hakim Yang Mulia
Penuntut Umum Yang Terhormat

Adalah hak terdakwa untuk meminta penjelasan tentang isi Surat Dakwaan. Mengapa? Karena hal ini dijamin oleh undang-undang. Pasal 155 Ayat (2) huruf b KUHAP mengatur kewajiban Hakim untuk menanyakan kepada terdakwa apakah terdakwa mengerti isi Surat Dakwaan dan kemudian memerintahkan kepada Penuntut Umum untuk memberi penjelasan kepada terdakwa tentang hal-hal yang tidak dimengerti Terdakwa  dalam Surat Dakwaan.

Salah satu alasan yang mendasar tentang hak Terdakwa tersebut adalah karena hal itu merupakan hak asasi manusia sebagaimana yang dirumuskan dalam:
1.    Pasal 10 Deklarasi Universal Tentang Hak-hak Asasi Manusia, yang berbunyi :
“Setiap orang berhak, dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh Pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana apapun yang ditujukan terhadapnya.”

2.    Pasal 14 Ayat (3) Kovenan Internasional tentang hak-Hak Sipil dan Politik (telah diratifikasi oleh pemerintah RI) dengan UU No. 12 Tahun 2005 tanggal 28 Oktober 2005, yang isinya sebagai berikut :
“Dalam penentuan pelanggaran pidana terhadapnya setiap orang dalam persamaan sepenuhnya akan berhak atas paling sedikit jaminan-jaminan tersebut di bawah ini :
a.    Untuk secepatnya dan secara terperinci diberikan dalam bahasa yang dimengertinya tentang sifat dan dasar mengapa diajukan tuntutan terhadapnya.
b.    Untuk diberi cukup waktu dan kemudian guna mempersiapkan pembelaannya dan menghubungi Pembela yang dipilihnya sendiri.
c.    Untuk diperiksa tanpa penundaan yang perlu.
d.    Untuk diperiksa keterlibatannya dalam membela diri atau melalui bantuan hukum pilihannya sendiri, untuk diberitahukan bilamana ia tidak mempunyai bantuan hukum tentang haknya ini dan untuk diberitahukan bantuan hukum baginya dalam setiap perkara, di mana hal itu diperlukan demi kepentingan keadilan dan tanpa pembayaran apapun olehnya dalam setiap hal demikian jikalau ia tidak mempunyai dana yang cukup untuk membayarnya.
e.    Untuk memeriksa atau menyuruh memeriksa para saksi yang memberatkan dan menerima kehadiran dan pemeriksaan para saksi yang menguntungkan di bawah persyaratan yang sama seperti bagi para saksi lawan.
f.     Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari seorang penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dengan bahasa yang digunakan dalam pengadilan.
g.    Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap dirinya sendiri atau mengaku bersalah.

Majelis Hakim Yang Mulia
Penuntut Umum Yang Terhormat

Ketentuan Pasal 155 Ayat (2) huruf b KUHAP yang memberikan hak kepada Terdakwa untuk meminta penjelasan tentang Surat Dakwaan yang tidak dimengerti, adalah merupakan politik hukum yang mengadopsi Deklarasi Universal Hak-Hak Asazi Manusia maupun Kofenan Internasional tentang Hak-Hak sipil dan Politik. Dengan demikian, KUHAP merupakan peraturan perundang-undangan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia yang dirumuskan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia maupun Kofenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Tinggal persoalannya sekarang adalah, bagaimana sikap para aparat pelaksana dari KUHAP tersebut? Apakah juga sudah menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia sebagaimana yang melekat dalam KUHAP? Ataukah lebih mengedepankan kekuasaan?

Oleh karena itulah Majelis Hakim Yang Mulia dan Penuntut Umum Yang Terhormat, apabila Terdakwa I PANDA NABABAN meminta penjelasan Surat Dakwaan semata-mata karena Terdakwa I PANDA NABABAN mempergunakan haknya sebagai Terdakwa yang dijamin oleh Undang-Undang dan Hak Asasi Manusia.

Namun, sungguh disayangkan, sebagai Jaksa Profesional yang diminta menjelaskan Surat Dakwaan yang dibuatnya sendiri tidak mampu menjelaskannya, karena memang  uraian dakwaan dibuat tanpa ada fakta yang terungkap dalam Berkas Perkara. Dan, lebih disayangkannya lagi, ternyata sidang ini tetap dilanjutkan dalam keadaan Terdakwa I PANDA NABABAN masih tidak mengerti dakwaan yang didakwakan Penuntut Umum.

Namun demikian, kami yakin bahwa Yang Mulia Majelis Hakim di persidangan ini akan mempertimbangkannya secara sungguh-sungguh dan seksama, serta secara cermat, untuk kemudian memberikan putusan yang seadil-adilnya terhadap eksepsi yang kami ajukan ini. Untuk itu, kami akan menunjukkan di mana letak kesalahan Penuntut Umum di dalam membuat surat dakwaan. Dan, di dalam kami memperlihatkan kekaburan, ketidakjelasan surat dakwaan tersebut, kami tidak akan masuk lebih jauh ke dalam pokok perkara untuk menghindari alasan klasik yang selama ini dijadikan sebagai salah satu dasar putusan eksepsi yang yaitu: ”Eksepsi ditolak karena sudah masuk dalam Pokok Perkara.”

Majelis Hakim Yang Mulia
Penuntut Umum Yang Terhormat

Eksepsi ini secara formil kami ajukan adalah sebagai bentuk keberatan kami atas Surat Dakwaan Penuntut Umum, yang telah dibuat dengan tidak jelas, cermat dan lengkap dan bahkan manipulatif. Sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana, Penuntut Umum telah membacakan dakwaan di persidangan pertama, di mana dalam Surat Dakwaan tersebut Terdakwa I Panda Nababan telah didakwa turut serta menerima Travelers Cheque (TC) sebagai bentuk pemberian atau janji yang diberikan karena berhubungan dengan jabatannya. Namun demikian, Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaanya tidak menguraikan dengan jelas dan rinci perbuatan apa yang dilakukan oleh Terdakwa I Panda Nababan, dari mana Terdakwa I Panda Nababan menerima Travellers Cheque (TC), dalam bagian fakta mana Terdakwa I Panda Nababan dinyatakan turut serta melakukan suatu tindak pidana.

Dengan dilatarbelakangi atas ketidakjelasan dari Surat Dakwaan tersebut, selanjutnya pada saat Ketua Majelis Hakim menanyakan “apakah saudara Terdakwa I memahami isi dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum?” Terdakwa I telah menyampaikan bahwa dirinya tidak mengerti isi dari Surat Dakwaan khususnya pada bagian uraian di mana Terdakwa I didakwa telah turut serta melakukan tindak pidana dan pada bagian uraian dakwaan mengenai penerimaan Travellers Cheque. Atas pernyataan Terdakwa I tersebut, Ketua Majelis Hakim yang terhormat telah memerintahkan Penuntut Umum untuk memberikan penjelasan, namun demikian Penuntut Umum tidak mampu memberikan penjelasan yang dapat dimengerti oleh Terdakwa I Panda Nababan sebagaimana diwajibkan menurut Pasal 155 ayat (2) huruf b KUHAP.
Pasal 155 ayat (2) huruf b KUHAP menyatakan:
“Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan.”
Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 155 ayat (2) huruf b KUHAP menyatakan:
“untuk menjamin terlindunginya hak terdakwa guna memberikan pembelaannya, maka penuntut umum memberikan penjelasaan atas dakwaan, tetapi penjelasan ini hanya dapat dilaksanakan pada permulaan sidang.”

Majelis Hakim Yang Mulia
Penuntut Umum Yang Terhormat

Sampai pada saat ini Terdakwa I Panda Nababan tidak mengerti isi dari surat dakwaan Penuntut Umum, karena penjelasan yang dimaksud tidak pernah diberikan oleh Penuntut Umum. Ketidakjelasan atas apa yang didakwakan terhadap seorang Terdakwa, akan mengakibatkan Terdakwa kesulitan melakukan pembelaan terhadap dirinya. Oleh karena itu, apabila Terdakwa I Panda Nababan tidak mengerti dengan jelas apa yang didakwakan, dan Penuntut Umum tidak menjelaskan hal yang tidak dimengerti oleh Terdakwa I, bagaimanakah Terdakwa I dapat melakukan pembelaan atas perkara yang didakwakan kepadanya? Padahal, sebagaimana dicantumkan dalam KUHAP, penjelasan tersebut wajib diberikan bagi Terdakwa guna melakukan pembelaan dan wajib diberikan pada saat permulaan sidang.

Jika kita cermati surat dakwaan tersebut, jelas nampak Penuntut Umum tidak memahami Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia No. SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan (selanjutnya disebut “Surat Edaran Kejagung”), di mana telah dinyatakan bahwa Surat Dakwaan adalah titik tolak pemeriksaan perkara pidana. Surat Edaran Kejagung tersebut telah secara rinci menjelaskan tentang fungsi sentral Surat Dakwaan, di mana dalam Bab II paragraf ke-2 menjelaskan bahwa fungsi Surat Dakwaan dapat dikategorikan sebagai berikut:
a.       Bagi Pengadilan/Hakim, Surat Dakwaan merupakan dasar sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dalam menjatuhkan keputusan;
b.     Bagi Penuntut Umum, Surat Dakwaan merupakan dasar pembuktian analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum;
c.   Bagi terdakwa/Penasehat Hukum Surat dakwaan merupakan dasar untuk membuat pembelaan.
Mengingat fungsi sentral Dakwaan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Kejagung di atas, tidak dapat dibayangkan bagaimana Surat Dakwaan yang kabur dan tidak jelas serta tidak dimengerti oleh Terdakwa sendiri dapat dijadikan titik tolak pemeriksaan dalam persidangan di Pengadilan. Terhadap Surat Dakwaan kabur, seharusnya Pengadilan sebagai lembaga yang fair, obyektif dan imparsial dapat membatalkan Surat Dakwaan tersebut. Apabila Surat Dakwaan tersebut tetap digunakan dalam pemeriksaan di persidangan ini, maka akan sulit bagi para pencari keadilan untuk medapatkan peradilan yang tidak memihak, berimbang dan objektif.

Oleh karenanya untuk mencegah berlangsungnya persidangan yang tidak objektif, maka sudah sepatutnya Penuntut Umum menggunakan haknya untuk tidak melanjutkan penuntutannya dalam persidangan ini, semata-mata demi untuk menjaga hak dari Terdakwa untuk mendapatkan keadilan yang hakiki dalam persidangan ini. Apabila Tim Penuntut Umum konsisten dengan fakta-fakta di dalam BAP, maka Tim Penuntut Umum dapat mengubah Surat Dakwaan untuk tidak melanjutkan penuntutannya. Meskipun prosedur tersebut tidak diatur di dalam KUHAP, namun sesuai asas peradilan yang bebas, jujur dan tidak memihak yang harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan (vide, Penjelasan Umum butir e KUHAP) maka acces to justice kepada Terdakwa yang bersifat substansial atau materiil tentunya harus dikedepankan dan disediakan daripada prosedur-prosedur yang hanya bersifat formil semata.

Majelis Hakim Yang Mulia
Penuntut Umum Yang Terhormat

Sebagaimana sudah diketahui, Surat Dakwaan Penuntut Umum haruslah memenuhi persyaratan hukum sebagaimana telah diatur dengan jelas dalam Pasal 143 KUHAP. Berdasarkan Pasal 143 KUHAP itu telah ditentukan  bagaimana seharusnya Surat Dakwaan dibuat dan bagaimana pula fakta-fakta dalam Surat Dakwaan harus diuraikan. Bila tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 143 KUHAP itu telah jelas pula apa akibat hukumnya.

Dalam ketentuan Pasal 143 KUHAP, selain mengatur soal identitas Terdakwa yang harus jelas, juga ditentukan bahwa surat dakwaan haruslah pula disusun dengan rumusan fakta secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan-perbuatan yang didakwakan terhadap Terdakwa, sesuai dengan rumusan delik yang mengancam perbuatan-perbuatan itu dengan hukuman (pidana). Uraian atau rumusan yang cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa itu keseluruhannya nantinya harus dapat mengisi secara tepat dan benar, semua unsur-unsur dari semua delik yang ditentukan undang-undang yang didakwakan terhadap Terdakwa dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (vide Pasal 143 ayat (2) butir b KUHAP). Dengan demikian Terdakwa dapat membela dirinya dengan sebaik-baiknya. Bila ketentuan ini tidak dipenuhi maka menurut ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP surat dakwaan itu haruslah dinyatakan batal demi hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar